Gangguan Pendengaran Pada Anak Usia Dini

Gangguan pendengaran pada anak usia dini merupakan suatu kecacatan yang tidak nampak secara visual. Gangguan ini berbeda jika dibandingkan dengan kecacatan fisik lainya yang secara visual sudah nampak jelas, sehingga deteksi dini gangguan pendengaran pada anak usia dini relatif lebih sulit jika dibandingkan dengan gangguan pada fisik yang lainya (Santoso HA, 2008).

Pendengaran merupakan organ yang sangat sangat penting bagi anak usia dini. Dengan pendengaran seorang anak dapat belajar berbicara, berbahasa, melakukan sosialisasi serta peningkatan perkembangan intelektual

Ketika terjadi gangguan pendengaran sejak lahir dapat berpengaruh terhadap kemampuan bicara, bahasa serta mengakibatkan kertelambatan perkembangan kognitif anak (Law. J. et all, 2003).

Hasil penelitian yang dilakukan di tujuh propinsi di Indonesia didapatkan data bahwa kejadian ketulian sebesar 0,4% dan gangguan pendengaran sebesar 16,8%. Hal ini disebabkan karena infeksi telinga tengah sebesar 3,1%, presbikusis sebesar 2,6%, obat ototoksik sebesar 0,3%, dan tuli sejak lahir atau kongenital sebesar 0,1% (Kemenkes, 2010).

Gangguan pendengaran pada anak dapat menyebabkan kesulitan dalam menerima pelajaran disekolah. Hal ini dapat terjadi karena sistem pendengaran memiliki peran yang besar dalam kegiatan belajar di sekolah. Selain hal tersebut, gangguan pendengaran ini juga dapat mengakibtakan keterlambatan kemampuan bicara dan kemampuan bahasa pada anak yang juga berhubungan dengan kesulitan membaca, menulis, memperhatikan, dan berinteraksi sosial

Penyebab dan Faktor Resiko Gangguan Pendengaran pada Anak

Sebagian besar faktor penyebab angguan pendengaran pada anak usia dini adalah dari faktor genetik (bawaan) dan faktor nongenetik (didapat). Gangguan pendengar juga dapat timbul sejak lahir (prelingual) atau muncul pada usia di atas tiga tahun (postlingual) yang akan mempengaruhi kemampuan berbahasa dan kemampuan komunikasi pada anak. Gangguan pendengaran pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran yang sering terjadi pada bayi sejak lahir (kongenital), umumnya tipe sensorineural, bersifat bilateral, sebagian besar derajat berat dan sangat berat (Dewi & Agustian, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa gangguan pendengaran pada bayi yang tuli sejak lahir dikarenakan berapa faktor risiko yang mungkin menyebabkan gangguan pendengaran antar lain: bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1500 gram (Azwar, 2013), bayi yang dilahirkan kurang bulan (bayi prematur), bayi yang memiliki riwayat perawatan di ruang intensive NICU (Neonatal Intensive Care Unit), ibu memiliki riwayat infeksi TORCH (Toksoplasma, Rubela, Sitomegalovirus, Herpes) pada saat hamil (Andayani, 2014), bayi dengan peningkatan kadar bilirubin darah atau hiperbilirubinemia (Sarosa, 2010) terdapat kelainan bentuk telinga dan wajah, memiliki riwayat mendapat pengobatan yang memiliki efek samping merusak sistem pendengaran (ototoksik), terdapat   anggota keluarga yang mengaami gangguan pendengaran sejak lahir dan bayi pernah mengalami infeksi meningitis (Rundjen, et all, 2005)

Macam-macam Gangguan Pendengaran pada anak
  1. Jenis gangguan pendengaran konduksi.

Jenis gangguan ini merupakan salah satu jenis gangguan pendengaran yang terjadi karena terdapat permasalahan pada saluran telinga bagian luar atau bagian tengah yang menyebabkan gelombang suara tidak bisa di alirkan menuju ke bagian telinga dalam (Soepardi, 2016).

Akibat dari adanya gangguan pendengaran ini dapat terjadi penurunan tingkat kerasnya suara yang masuk pada telinga, namun tidak menimbulkan distorsi atau gangguan pada kejernihan suara yang diterima. Pada umumnya jenis gangguan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan.

  • Jenis gaangguan pendengaran sensorineural

Gangguan yang terjadi akibat adanya kerusakan pada telinga dalam dan juga dapat terjadi akibat kerusakan saluran yang menuju ke daerah otak. Untuk gangguan jenis ini dapat menyebabkan suara menjadi hilang sehingga berpengaruh terhadap kemampuan dalam berkomunikasi. Pada umumnya gangguan jenis ini tidak dapat disembuhkan karena kerusakan pendengaran bersifat menetap.

  • Gangguan pendengaran campuran yang merupakan kombinasi keduanya yang  merupakan gabungan tuli konduksi dan sensorineural

Cara melakukan deteksi dini gangguan pendengaran

Ada beberapa test yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Antara lain :

Dokter atau perawat akan meletakkan alat sensor di kulit kepala bayi. Alat sensor ini terhubung dengan jaringan komputer yang dapat mengukur aktivitas gelombang otak bayi saat merespons bunyi yang dikirim melalui earphone kecil.

Tes Automated Auditory Brainstem Response (AABR)

Tes Otoacoustic Emissions (OAE)

Tes pendengaran ini dilakukan untuk mengukur gelombang suara di telinga bagian dalam. Perangkat kecil diletakkan di telinga bayi untuk menghasilkan bunyi yang lembut dan merekam respons telinga bayi terhadap bunyi tersebut.

Timpanometri

Pemeriksaan timpanometri dapat menunjukkan mobilitas gendang telingan dan telinga bagian tengah. Hasil pemeriksaan direpresentasikan dalam bentuk grafik (tympanogram) dan tipe timpanogramnya

tes pendengaran yang dilakukan secara obyektif untuk mengetahui kemampuan dengar anak atau balita yang belum mampu melakukan tes audiometri biasa. Tes ASSR biasanya diberikan kepada bayi yang tidak lolos serangkaian tes skrining bayi baru lahir (newborn baby screenings) dan kepada anak yang mengalami keterlambatan bicara yang diduga mengalami gangguan pendengaran.

Auditory Steady State Response (ASSR)

Tes ASSR harus dilakukan pada kondisi tertidur dalam. Oleh karena itu apabila akan dilakukan pada bayi-baru-lahir dapat dilakukan langsung setelah 24 jam dilahirkan. Apabila akan dilakukan pada balita yang sudah tidak banyak tidur, maka harus dilakukan pembiusan, bisa bius minum atau bius lewat anus

Gejala Anak dengan Gangguan Pendengaran

Berikut ciri-ciri dan gejala gangguan pendengaran pada anak sesuai tahapan usia anak:

Usia 1-9 bulan

– Tidak terkejut ketika mendengar suara dengan volume tinggi.

– Tidak terlihat merespons ketika dipanggil oleh suara yang familiar.

– Tidak berceloteh “ma-ma”, “da-da”, “ta-ta”, atau sejenisnya.

– Tidak tertarik dengan mainan yang mengeluarkan bunyi.

Usia 9-15 bulan

– Tidak mengucapkan berbagai macam suara dengan berbagai suku kata.

– Tidak menunjukkan respons ketika namanya dipanggil.

– Saat anak rewel, tidak bisa ditenangkan oleh orang sekitarnya.

– Tidak mengeluarkan berbagai macam informasi untuk mengekspresikan rasa senang, kesal, atau sedih.

Usia 15-24 bulan

– Tidak tertarik mendengarkan cerita atau lagu.

– Tidak sering bernyanyi atau berbicara.

– Tidak mampu menunjuk anggota tubuh saat orang tua meminta menunjuk.

– Tidak mampu mengucapkan kata sederhana yang rutin dilakukan sehari-hari seperti “makan”, “mama”, dan “papa”.

– Tidak menjawab ketika dipangggil.

– Sering menonton televisi dengan volume sangat keras.

– Jika ditanya, anak sering kali menjawab dengan ‘tidak nyambung’.

– Artikulasi bicara tidak jelas.

– Kemampuan bicara lebih lambat dibandingkan anak seusianya.

– Mengalami kesulitan belajar di sekolah.

Kurang dari 2 tahun

– Tidak menjawab ketika dipangggil.

– Sering menonton televisi dengan volume sangat keras.

– Jika ditanya, anak sering kali menjawab dengan ‘tidak nyambung’.

– Artikulasi bicara tidak jelas.

– Kemampuan bicara lebih lambat dibandingkan anak seusianya.

– Mengalami kesulitan belajar di sekolah.

Peranan fungsi pendengaran sangat penting sehingga gangguan pendengaran perlu dideteksi sedini mungkin. Pentingnya fungsi pendengaran pada perkembangan antara lain perkembangan bicara, komunikasi, emosional, sosial dan kognitif anak. Deteksi dan identifikasi adanya gangguan pendengaran anak usia dini dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu pengamatan reaksi anak terhadap suara atau menggunakan metode dan peralatan sederhana maupun canggih untuk mengetahui fungsi pendengaran. ditulis oleh : (PKRS/drtc)

Article by marketing